TEORI BELAJAR KOGNITIF
NAMA : PUTRI MADANI
PRODI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN : 1446 H / 2025
“TEORI BELAJAR KOGNITIF”
PENDAHULUAN
Teori belajar kognitif merupakan pendekatan pembelajaran yang memfokuskan pada proses berpikir dan struktur mental individu dalam memahami dan mengolah informasi. Dalam dunia pendidikan, proses pembelajaran memiliki peran penting dalam meningkatkan keterampilan peserta didik. Sayangnya, kurikulum yang diterapkan selama ini belum sepenuhnya mampu menjawab kebutuhan siswa, khususnya dalam menghadapi tantangan berpikir kritis dan menyelesaikan persoalan sosial maupun budaya. Oleh karena itu, pemahaman terhadap teori pembelajaran menjadi sangat penting, salah satunya adalah teori belajar kognitif.
Jerome S. Bruner sebagai salah satu tokoh utama dalam teori ini memperkenalkan tiga tahap belajar yaitu enaktif, ikonik, dan simbolik, yang mendukung perkembangan kognitif siswa secara bertahap. Ia menekankan bahwa teori pembelajaran harus mendasari desain kurikulum dan pelaksanaannya. Bruner melihat bahwa proses belajar lebih dari sekadar menyerap informasi, melainkan aktivitas yang aktif dan bermakna bagi siswa. Ia mengkritik pendekatan akademik yang hanya berfokus pada penyampaian konsep tanpa memperhatikan pengalaman nyata siswa dalam kehidupan sosial mereka.
PEMBAHASAN
Teori belajar kognitif menekankan bahwa proses belajar tidak hanya terjadi secara mekanis seperti pada pendekatan behavioristik, melainkan melibatkan pengolahan informasi, memori, persepsi, serta struktur pengetahuan yang telah ada. Dalam pendekatan ini, belajar dipahami sebagai proses aktif di mana siswa mengaitkan pengetahuan baru dengan pengalaman atau informasi yang telah dimiliki sebelumnya. Oleh karena itu, pembelajaran holistik menjadi lebih efektif dibandingkan pembelajaran yang memecah materi menjadi bagian kecil tanpa memperhatikan konteks utuh.
Jean Piaget menjelaskan bahwa pembelajaran terjadi melalui tahapan-tahapan seperti asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. David Ausubel memperkenalkan konsep advance organizer sebagai pengantar materi baru untuk memudahkan integrasi pengetahuan. Sedangkan Jerome Bruner dengan pendekatan discovery learning-nya menekankan pentingnya keterlibatan aktif siswa dalam menemukan pengetahuan. Para tokoh ini memberikan kontribusi penting dalam memahami bahwa belajar adalah aktivitas internal kompleks yang melibatkan daya pikir, daya ingat, dan pemahaman.
Dalam perspektif Islam, Al-Qur’an dan Hadis pun menggarisbawahi pentingnya berpikir dan belajar. Banyak ayat Al-Qur’an yang mendorong manusia untuk menggunakan akal, seperti QS. Al-Ghasyiyah ayat 17–21, yang mengajak manusia merenungi ciptaan Allah sebagai bagian dari proses berpikir dan pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendekatan kognitivisme yang menekankan kerja mental dalam belajar. Bahkan hadis Nabi SAW dan pandangan para ulama menyebutkan pentingnya menuntut ilmu sepanjang hayat, seperti hadis “menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim”.
Pemikiran tokoh Muslim klasik seperti Al-Ghazali dan Ibnu Sina turut memperkuat pendekatan ini. Al-Ghazali menekankan bahwa proses belajar tidak hanya mencakup aspek kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik. Ia menganggap pendidikan sebagai upaya penyucian jiwa dan pengamalan nilai-nilai spiritual. Al-Ghazali menjelaskan bahwa proses berpikir melibatkan kerja sama antara akal, daya khayal, dan daya ingat. Jika salah satu komponen ini terganggu, maka ide yang dihasilkan pun akan kabur. Oleh karena itu, harmonisasi antara akal dan qalb sangat ditekankan dalam pendidikan Islam.
Sementara itu, Ibnu Sina melihat bahwa pendidikan mencakup tiga aspek utama yaitu jiwa (qalb), tubuh (jism), dan akal (‘aql). Ia membagi perkembangan jiwa manusia menjadi tiga tahap: nabatiyyah (pertumbuhan dasar), hewaniyyah (emosi dan gerak), dan insaniyyah (rasional dan spiritual). Kurikulum yang dirancang oleh Ibnu Sina dimulai dari pengajaran dasar moral dan kebersihan, hingga pembelajaran Al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman. Pada tahap lanjutan, pembelajaran diarahkan sesuai minat dan bakat individu. Pendidikan menurut Ibnu Sina juga dibagi menjadi ilmu teoritis dan ilmu praktis, mencakup pengetahuan alam, matematika, teologi, hingga ilmu sosial-politik.
Dalam konteks Kurikulum Merdeka, pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Sina masih sangat relevan. Kurikulum ini menekankan pada pembentukan karakter, pengembangan spiritualitas, serta kompetensi sosial. Pendidikan agama Islam di era Kurikulum Merdeka menempatkan nilai-nilai seperti akhlak mulia, toleransi, dan kepedulian sosial sebagai inti dari pembelajaran. Nilai-nilai ini sejalan dengan konsep ilmu mahmudah dalam pandangan Al-Ghazali dan jiwa insaniyyah dalam pemikiran Ibnu Sina. Dengan pendekatan yang menyeluruh dan terintegrasi, Kurikulum Merdeka dapat mencetak generasi yang cerdas secara intelektual, tangguh secara emosional, dan kuat secara spiritual.
KESIMPULAN
Teori belajar kognitif memandang proses belajar sebagai aktivitas internal yang melibatkan pemahaman, analisis, dan pengolahan informasi. Belajar adalah perubahan dalam persepsi dan pemahaman seseorang yang tidak selalu tampak secara langsung. Teori ini mendorong keterlibatan aktif peserta didik dalam membangun makna dan mengaitkan pengetahuan baru dengan pengalaman sebelumnya. Dalam perspektif Islam, proses belajar sejalan dengan perintah untuk berpikir, merenung, dan terus mencari ilmu sepanjang hayat. Pemikiran para tokoh Muslim klasik pun menguatkan bahwa pendidikan harus menyentuh aspek intelektual, emosional, dan spiritual. Dengan mengintegrasikan teori kognitif ke dalam pembelajaran, pendidikan dapat menjadi sarana membentuk pribadi yang utuh dan berdaya saing di era modern.
Komentar
Posting Komentar