TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK
NAMA : PUTRI MADANI
PRODI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN : 1446 H / 2025
“TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK”
PENDAHULUAN
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, proses belajar mengajar menjadi aspek yang sangat krusial. Proses ini tidak hanya melibatkan pengajaran satu arah, tetapi merupakan interaksi manusiawi antara pendidik dan peserta didik yang sarat dengan ketidakpastian. Dalam ranah pendidikan, teori menjadi landasan penting untuk kemajuan, termasuk teori belajar konstruktivistik yang menjadi perhatian utama pembahasan ini.
Teori belajar konstruktivistik menekankan bahwa proses belajar adalah sebuah konstruksi aktif yang dilakukan oleh peserta didik. Mereka membangun sendiri pengetahuannya melalui pengalaman, interaksi sosial, serta refleksi terhadap informasi yang mereka terima. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi, melainkan berperan sebagai fasilitator yang membimbing peserta didik agar dapat menggali dan mengembangkan potensi mereka secara mandiri. Dalam konteks pendidikan Islam, pemikiran ini bukanlah sesuatu yang baru karena telah diperkenalkan oleh tokoh-tokoh klasik seperti Al-Zarnuji dan Ibnu Khaldun, yang menekankan pentingnya kemandirian dan tanggung jawab dalam proses belajar.
PEMBAHASAN
Definisi dari konstruktivisme sendiri berasal dari kata “to construct” yang berarti membangun. Von Glasersfeld menyebutkan bahwa konstruktivisme adalah filsafat pengetahuan yang menyatakan bahwa pengetahuan dibentuk sendiri oleh individu berdasarkan interaksinya dengan lingkungan. Teori ini menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif yang terus menerus membangun dan merevisi pemahamannya. Pengetahuan tidak diberikan secara langsung, tetapi dikonstruksi melalui pengalaman belajar yang bermakna dan kontekstual.
Karakteristik teori belajar konstruktivistik mencakup berbagai aspek. Pertama, pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri melalui pengalaman pribadi. Kedua, pembelajaran bersifat kontekstual dan bermakna, di mana siswa belajar lebih efektif ketika mereka dapat menghubungkan materi pelajaran dengan situasi nyata. Ketiga, guru berfungsi sebagai fasilitator yang membimbing, bukan sebagai pemberi informasi. Keempat, interaksi sosial dianggap penting karena dapat memperkaya pemahaman siswa. Kelima, pembelajaran dilakukan dengan pendekatan pemecahan masalah dan eksplorasi. Dan keenam, evaluasi bersifat autentik dan berkelanjutan, tidak hanya melalui tes, tetapi juga melalui observasi, portofolio, dan proyek.
Teori ini juga menemukan dasar kuatnya dalam Al-Qur’an dan Hadits. Dalam QS. An-Nahl ayat 78, ditegaskan bahwa manusia lahir tanpa mengetahui apa pun, kemudian diberi fasilitas belajar seperti pendengaran, penglihatan, dan hati. QS. Al-Baqarah ayat 256 menekankan tidak adanya paksaan dalam beragama, yang mengindikasikan bahwa dalam pendidikan pun tidak boleh ada pemaksaan, melainkan harus memberikan kebebasan dan bimbingan. QS. Al-Kahfi ayat 29 pun menggarisbawahi pentingnya kebebasan memilih dan tanggung jawab atas pilihan tersebut.
Beberapa tokoh besar dalam sejarah Islam turut memberikan kontribusi dalam pengembangan teori ini. Ibnu Khaldun dalam karya monumental Muqaddimah menekankan pembelajaran yang bertahap (al-tadrij), pengulangan (tikrari), dan praktik langsung (tadrib). Ia melihat bahwa ilmu harus diperoleh secara perlahan dan sesuai kapasitas intelektual individu. Sementara Al-Zarnuji dalam Ta’līm al-Muta’allim menyatakan bahwa pengetahuan tidak bisa hanya ditransfer dari guru ke murid, tetapi harus dibangun oleh murid itu sendiri melalui metode seperti diskusi, tanya jawab, dan refleksi. Al-Ghazali menyoroti pentingnya pembelajaran sebagai proses personal dan mendalam, di mana ilmu harus bermanfaat dan diaktualisasikan dalam kehidupan. Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional Indonesia, juga mengusung prinsip konstruktivistik melalui konsep "Tut Wuri Handayani", yang menempatkan guru sebagai mitra belajar dan siswa sebagai subjek aktif dalam membangun pengetahuannya.
Dalam konteks Kurikulum Merdeka, pemikiran para tokoh tersebut masih sangat relevan. Ibnu Khaldun dengan metode hafalan, diskusi, dan latihan relevan dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), sementara Al-Zarnuji memberi dasar penting bagi pembentukan karakter dan pengamalan ilmu melalui pendekatan yang aktif. Al-Ghazali mendukung pembelajaran yang menekankan moralitas, nilai-nilai universal, dan pengembangan potensi jiwa manusia. Semua ini tercermin dalam rumusan capaian pembelajaran mata pelajaran PAI yang menekankan sikap ideal seperti kesalehan, toleransi, akhlak mulia, dan kasih sayang terhadap seluruh makhluk.
KESIMPULAN
Teori belajar konstruktivistik tidak hanya memiliki dasar yang kuat dalam filsafat pendidikan modern, tetapi juga sejalan dengan ajaran Islam dan relevan dalam praktik pendidikan kontemporer, terutama dalam implementasi Kurikulum Merdeka. Proses belajar harus berpusat pada peserta didik, dilakukan secara kontekstual, bertahap, penuh makna, dan mengedepankan kebebasan serta tanggung jawab dalam memperoleh ilmu.
Komentar
Posting Komentar