TEORI BELAJAR HUMANISTIK

NAMA : PUTRI MADANI

PRODI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

TAHUN : 1446 H / 2025 H

TEORI BELAJAR HUMANISTIK

A. Pendahuluan

Pendidikan dan pengajaran adalah proses penting untuk membantu manusia berkembang menjadi pribadi yang lebih baik dan dewasa. Proses ini tidak hanya bertujuan membentuk kemampuan akademik, tetapi juga membimbing peserta didik agar mampu menjalani kehidupan sebagai individu, makhluk sosial, dan makhluk ciptaan Tuhan. Namun, kenyataannya sistem pendidikan saat ini masih kurang memberikan ruang bagi peserta didik untuk tumbuh secara utuh. Peserta didik sering dipandang sebagai objek yang pasif, yang harus menerima semua informasi dari guru tanpa diberi kesempatan untuk berpikir kritis, berimajinasi, atau berkreasi. Akibatnya, anak-anak hanya dituntut untuk menghafal, bukan memahami atau mengembangkan dirinya. Hal ini sangat disayangkan, karena kemampuan berpikir dan kreativitas adalah bagian penting dari potensi manusia yang harus dikembangkan. Maka dari itu, dibutuhkan pendekatan pendidikan yang lebih manusiawi, yang mampu melihat peserta didik sebagai individu yang aktif, memiliki perasaan, keinginan, dan potensi untuk berkembang. Pendekatan itu adalah teori belajar humanistik.

B. Definisi Teori Belajar Humanistik

Teori belajar humanistik adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada pengembangan manusia secara menyeluruh, baik fisik maupun mental. Inti dari teori ini adalah bagaimana proses belajar mampu memanusiakan manusia. Pembelajaran dianggap berhasil apabila peserta didik mampu memahami dirinya sendiri dan lingkungannya, serta mencapai aktualisasi diri. Beberapa tokoh menjelaskan teori ini dari sudut pandang yang berbeda. Abraham Maslow misalnya, menjelaskan bahwa manusia memiliki kebutuhan dasar yang berjenjang, mulai dari kebutuhan fisik seperti makan dan minum, lalu rasa aman, kasih sayang, penghargaan diri, hingga kebutuhan tertinggi yaitu aktualisasi diri. Artinya, manusia akan termotivasi belajar jika kebutuhannya terpenuhi. Carl Rogers, tokoh lainnya, melihat bahwa ada dua jenis belajar: belajar kognitif dan belajar eksperimental. Dalam pandangan Rogers, belajar akan bermakna jika dikaitkan dengan pengalaman hidup. Guru dalam hal ini harus mampu menghubungkan pelajaran di kelas dengan kehidupan nyata peserta didik. Dari pemikiran para tokoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori belajar humanistik menempatkan peserta didik sebagai pusat proses belajar. Belajar bukan hanya soal menguasai ilmu, tetapi juga soal bagaimana seseorang berkembang menjadi pribadi yang utuh berdasarkan kebutuhannya sendiri.

C. Karakteristik Teori Belajar Humanistik

Teori belajar humanistik memiliki ciri khas yang membedakannya dari pendekatan lainnya. Teori ini melihat bahwa pembelajaran harus dilihat dari sudut pandang peserta didik, bukan dari luar dirinya. Pendidik bertugas membantu peserta didik memahami siapa dirinya dan potensi apa yang bisa dikembangkan. Pembelajaran yang humanistik tidak hanya menyampaikan materi, tetapi juga melibatkan perasaan dan pengalaman pribadi peserta didik. Proses belajar di sini bukanlah kegiatan yang dipaksakan, melainkan kegiatan yang lahir dari keinginan untuk tumbuh dan memahami dunia. Pendekatan ini juga menekankan pentingnya lingkungan belajar yang aman, terbuka, dan inklusif. Guru berperan sebagai pendamping yang mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas proses belajarnya. Setiap peserta didik dipandang sebagai individu yang unik, dengan kebutuhan, minat, dan kemampuan yang berbeda. Oleh karena itu, proses belajar tidak bisa disamaratakan. Dalam teori ini, pertumbuhan pribadi, pemenuhan kebutuhan psikologis, penghargaan terhadap perbedaan, dan hubungan baik antara guru dan siswa menjadi hal yang sangat penting.

D. Teori Belajar Humanistik Menurut Al-Qur’an dan Hadis

Ajaran Islam sangat sejalan dengan pandangan teori belajar humanistik. Dalam Islam, manusia diciptakan dengan fitrah, yaitu keadaan suci dan memiliki potensi dasar sejak lahir. Hadis Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, namun orang tuanya yang membentuknya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Artinya, lingkungan memiliki peran besar dalam perkembangan manusia. Al-Qur’an pun menggambarkan bahwa manusia adalah makhluk yang layak menjadi khalifah di bumi, karena memiliki akal, hati, dan potensi untuk belajar serta mengembangkan dirinya. Ayat-ayat dalam Surah Al-Baqarah dan Ali Imran menjelaskan bahwa manusia diciptakan tidak sia-sia, dan bahwa mereka diperintahkan untuk menggunakan akal dan hati untuk memahami ciptaan Allah. Jadi, dalam pandangan Islam, belajar bukan hanya sekadar mencari ilmu, tapi juga proses mengenali jati diri dan menyadari tanggung jawab sebagai hamba dan khalifah Allah. Tujuan pendidikan dalam Islam bukan hanya menghasilkan orang cerdas, tetapi juga pribadi yang berakhlak dan sadar akan tanggung jawabnya di hadapan Tuhan dan sesama.

E. Pemikiran Tokoh Muslim tentang Teori Belajar Humanistik

Beberapa tokoh besar dalam Islam memiliki pandangan yang sangat dekat dengan teori belajar humanistik. Syed Muhammad Naquib Al-Attas menekankan bahwa pendidikan adalah proses ta’dib, yaitu pembentukan adab atau sopan santun. Menurutnya, tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia beradab dan mengenal kedudukannya di hadapan Tuhan. Ia mengkritik sistem pendidikan modern yang terlalu mengejar hasil dan melupakan nilai-nilai moral dan spiritual. Al-Attas menekankan pentingnya pendidikan yang menyentuh akal, jiwa, dan hati secara bersamaan. Ibnu Khaldun juga memiliki pandangan serupa. Ia percaya bahwa setiap manusia memiliki bakat yang berbeda dan membutuhkan bimbingan untuk mengembangkannya. Ia menolak cara belajar yang keras dan menekankan pentingnya kasih sayang dalam mendidik anak. Menurutnya, guru harus bisa memahami keunikan setiap peserta didik dan mendidik dengan cara yang menyenangkan. Al-Ghazali dalam karyanya banyak menekankan pentingnya hubungan spiritual dan penyucian diri dalam belajar. Ia menganggap guru sebagai pembimbing spiritual, bukan hanya penyampai ilmu. Sementara itu, Al-Zarnuji menjelaskan pentingnya motivasi dalam belajar. Menurutnya, belajar yang bermakna harus didorong oleh keinginan dari dalam diri sendiri, bukan karena paksaan. Terakhir, Gus Dur sebagai tokoh Muslim modern mengajarkan pentingnya pendidikan yang membebaskan. Ia memperjuangkan pendidikan yang adil, toleran, menghargai perbedaan, dan menumbuhkan kesadaran serta kebebasan berpikir dalam diri peserta didik.

F. Kontekstualisasi dalam Pembelajaran di Era Kurikulum Merdeka

Dalam era Kurikulum Merdeka, teori belajar humanistik sangat sesuai untuk diterapkan. Kurikulum Merdeka memberi ruang bagi peserta didik untuk belajar sesuai dengan potensi, kebutuhan, dan keunikan masing-masing. Dalam sistem ini, guru diberi kebebasan untuk menyesuaikan metode belajar dengan karakter siswa. Tujuan utama pembelajaran bukan hanya untuk mengejar nilai, tetapi untuk mengembangkan karakter dan kompetensi yang utuh. Pemikiran tokoh-tokoh Muslim seperti Al-Attas dan Ibnu Khaldun sangat relevan dalam konteks ini. Al-Attas mendorong pendidikan berbasis nilai dan spiritualitas, sementara Ibnu Khaldun menekankan pentingnya pendidikan yang menyenangkan dan bertahap. Pemikiran Al-Ghazali dan Al-Zarnuji juga sangat cocok diterapkan dalam pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk menemukan makna, tujuan hidup, dan mengembangkan adab. Gus Dur, dengan semangat pluralisme dan keadilan sosialnya, menginspirasi dunia pendidikan agar tidak menyeragamkan peserta didik, tetapi membuka ruang agar mereka bisa menjadi diri sendiri dan berkembang dengan bahagia.

G. Kesimpulan

Teori belajar humanistik adalah pendekatan pendidikan yang sangat menghargai potensi manusia. Teori ini meyakini bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi pribadi yang utuh, asal diberikan ruang, kepercayaan, dan bimbingan yang tepat. Dalam teori ini, guru bukan penguasa kelas, melainkan sahabat belajar yang membantu peserta didik mengenali dirinya dan mencapai tujuan hidupnya. Ajaran Islam, melalui Al-Qur’an, Hadis, dan pemikiran tokoh-tokohnya, juga menekankan pentingnya pendidikan yang manusiawi, beradab, dan menyentuh hati. Maka dari itu, teori belajar humanistik sangat cocok diterapkan dalam pembelajaran agama Islam, terutama di era Kurikulum Merdeka yang menekankan kebebasan belajar, pembentukan karakter, dan penghargaan terhadap keunikan setiap individu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ISLAM DAN TEORI BELAJAR

KONSEP DASAR TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

TEORI BELAJAR DESKRIPTIF DAN PRESKRIPTIF