Teori Belajar Revolusi-Sosiokultural

 

NAMA : PUTRI MADANI

PRODI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

TAHUN : 1446 H / 2025 H

Teori Belajar Revolusi-Sosiokultural 

A. Pendahuluan

Teori belajar revolusi-sosiokultural muncul dari kesadaran bahwa proses belajar tidak bisa dilepaskan dari budaya dan lingkungan sosial di mana seseorang hidup. Budaya, baik dalam lingkup kecil maupun besar, sangat memengaruhi bagaimana seseorang memahami sesuatu. Pendidikan yang efektif adalah pendidikan yang tidak mengabaikan nilai-nilai budaya yang sudah melekat dalam masyarakat. Di negara-negara berkembang, sering kali sistem pendidikan yang diadopsi dari luar tidak berjalan dengan baik karena tidak sesuai dengan karakter lokal masyarakatnya. Selama ini, pembelajaran terlalu menekankan pada keteraturan dan hasil yang seragam, padahal peserta didik seharusnya diajak untuk mengenal keberagaman, berpikir kritis, dan membangun kepekaan sosial.

Teori ini menekankan bahwa budaya merupakan bagian penting dari proses belajar. Melibatkan budaya dalam pembelajaran membuat pendidikan lebih bermakna dan dapat diterima oleh masyarakat. Pendidikan yang berbasis budaya tidak hanya mempertahankan nilai-nilai tradisional, tetapi juga mampu menciptakan budaya baru yang sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan cara ini, pendidikan juga bisa menjadi alat untuk menyaring pengaruh negatif dari globalisasi. Dalam perspektif ini, belajar bukan hanya kegiatan intelektual, tetapi juga kegiatan sosial yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Teori ini sangat sejalan dengan nilai-nilai dalam Islam, yang juga mengajarkan pentingnya menghargai perbedaan dan membangun hubungan sosial yang harmonis.

 

B. Definisi Teori Pembelajaran Revolusi-Sosiokultural

Teori ini menjelaskan bahwa proses belajar tidak hanya terjadi dalam diri individu secara pribadi, melainkan sangat bergantung pada interaksi dengan orang lain dan pengaruh lingkungan budaya. Kata “revolusi” menunjukkan perubahan besar dalam cara berpikir tentang pembelajaran, dari yang semula dianggap sebagai kegiatan pribadi menjadi kegiatan yang sangat sosial. Manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah hidup terlepas dari budaya dan lingkungan. Oleh karena itu, proses belajar pun tidak bisa dipisahkan dari budaya, kebiasaan, bahasa, dan norma-norma sosial yang ada di sekitarnya.

Tokoh utama teori ini adalah Lev Vygotsky, seorang psikolog dari Rusia. Ia menyatakan bahwa anak-anak belajar melalui interaksi sosial, terutama dengan orang yang lebih ahli seperti guru atau teman sebaya. Salah satu konsep penting yang dikemukakan Vygotsky adalah Zona Perkembangan Proksimal atau ZPD, yaitu jarak antara apa yang bisa dilakukan anak sendiri dan apa yang bisa dicapai anak dengan bantuan. Vygotsky juga memperkenalkan istilah scaffolding, yaitu bantuan sementara yang diberikan kepada anak selama proses belajar, yang kemudian dikurangi ketika anak sudah mulai mandiri.

Dalam pandangan ini, bahasa bukan hanya alat untuk berbicara, tetapi juga alat untuk berpikir. Anak-anak mula-mula menggunakan bahasa luar untuk berkomunikasi, lalu berkembang menjadi bahasa batin yang membantu mereka berpikir. Belajar terjadi secara lebih efektif ketika siswa terlibat dalam kegiatan yang bermakna bersama orang lain. Oleh karena itu, lingkungan sosial yang baik sangat penting dalam mendukung proses belajar. Guru dalam hal ini tidak hanya menyampaikan materi, tetapi menjadi fasilitator yang menciptakan ruang interaksi dan pengalaman belajar yang nyata.

C. Karakteristik Teori Belajar Revolusi-Sosiokultural

Teori ini berbeda dari teori sebelumnya karena melihat bahwa belajar adalah bagian dari aktivitas sosial. Pengetahuan tidak diperoleh hanya dari dalam diri, tetapi juga dari lingkungan dan orang-orang di sekitar. Interaksi sosial menjadi kunci dalam membangun pemahaman. Bahasa memiliki peran penting dalam proses ini karena dengan bahasa, seseorang bisa menyampaikan, memahami, dan mengembangkan ide.

Pengetahuan yang awalnya diperoleh melalui interaksi luar akan perlahan-lahan menjadi bagian dari pemahaman pribadi. Dalam hal ini, guru harus dapat mengenali sejauh mana kemampuan siswa dan memberikan bantuan yang sesuai agar mereka bisa belajar secara mandiri. Perbedaan individu dalam budaya, pengalaman, dan cara berpikir harus dihargai. Proses belajar juga perlu disesuaikan dengan konteks kehidupan siswa, agar apa yang dipelajari tidak terasa asing dan lebih mudah dipahami.

Kerja sama dan diskusi dalam kelompok menjadi bagian penting dalam pendekatan ini karena dari sanalah siswa bisa saling bertukar pikiran dan memperkaya pemahamannya. Pembelajaran tidak lagi sekadar menyalin dari papan tulis, tetapi lebih banyak melibatkan aktivitas nyata yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Penilaian pun tidak hanya dilihat dari hasil akhir, tetapi juga dari proses yang dilalui siswa selama belajar.

D. Teori Belajar Revolusi-Sosiokultural Menurut Al-Qur’an dan Hadis

Dalam Islam, konsep belajar sangat menghargai interaksi sosial dan konteks budaya. Nabi Muhammad SAW mengajarkan ilmu sesuai dengan kemampuan dan latar belakang orang yang diajak bicara. Ini berarti setiap orang memiliki kondisi yang berbeda, dan pembelajaran harus disesuaikan agar bisa dipahami dengan baik. Dalam Al-Qur’an, manusia dipuji sebagai makhluk yang dimuliakan, diberi akal, dan memiliki potensi untuk membangun peradaban. Manusia diciptakan bukan hanya untuk hidup, tetapi juga untuk menjadi khalifah di bumi dan berbuat baik kepada sesama.

Pendidikan dalam Islam bukan hanya untuk mendapatkan pengetahuan, tetapi juga untuk membentuk kepribadian yang baik, bertakwa, dan berkontribusi pada masyarakat. Pembelajaran sosiokultural sangat sejalan dengan nilai-nilai Islam, karena mengajarkan bahwa proses belajar harus memperhatikan kondisi sosial dan budaya siswa. Selain itu, pembelajaran juga harus melibatkan rasa empati, saling menghargai, dan menumbuhkan kesadaran akan tanggung jawab sosial.

E. Pemikiran Tokoh Muslim tentang Teori Belajar Revolusi-Sosiokultural

Banyak tokoh Islam yang berpandangan serupa dengan teori ini. Misalnya, Al-Ghazali mengajarkan bahwa pendidikan harus mencakup aspek spiritual, moral, dan akal. Ia percaya bahwa pendidikan harus membentuk manusia menjadi pribadi yang utuh, bukan hanya cerdas secara ilmu, tetapi juga bijak dan berakhlak mulia. Ibnu Khaldun melihat pendidikan sebagai sarana untuk membentuk masyarakat dan peradaban yang adil. Ia menekankan pentingnya pengalaman dan interaksi sosial dalam belajar.

Ibnu Sina memiliki pandangan bahwa pendidikan harus menyentuh semua aspek jiwa manusia, yaitu akal, hati, dan ruh. Menurutnya, pendidikan bukan hanya soal ilmu, tapi juga soal membentuk karakter dan kesadaran spiritual. Gus Dur menekankan pentingnya pendidikan yang membebaskan dan menghargai keberagaman. Ia percaya bahwa pendidikan tidak boleh membatasi kreativitas dan kebebasan berpikir. Fazlur Rahman menekankan pentingnya pemahaman kontekstual terhadap ajaran agama. Menurutnya, pendidikan harus membantu siswa memahami realitas sosial dan mengembangkan pemikiran yang kritis.

F. Kontekstualisasi dalam Pembelajaran PAI di Era Kurikulum Merdeka

Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di era Kurikulum Merdeka tidak boleh hanya berisi hafalan atau teori, tetapi juga harus mampu membentuk karakter dan membekali siswa agar bisa hidup dalam masyarakat yang majemuk. Kurikulum Merdeka memberi ruang bagi guru dan siswa untuk belajar secara fleksibel, sesuai dengan kebutuhan, minat, dan karakter masing-masing. Dalam konteks ini, pemikiran tokoh-tokoh Islam menjadi sangat relevan.

Al-Ghazali, misalnya, menginspirasi pembelajaran berbasis nilai dan akhlak. Ibnu Khaldun mengajarkan pentingnya mengaitkan pelajaran dengan realitas sosial siswa. Ibnu Sina menekankan pentingnya keseimbangan antara akal dan hati. Gus Dur mengajarkan pentingnya toleransi, keadilan sosial, dan kebebasan berpikir. Fazlur Rahman mengajak agar ajaran agama tidak dipahami secara kaku, tetapi secara kontekstual dan kritis. Semua ini sejalan dengan semangat Kurikulum Merdeka yang ingin menciptakan pembelajaran yang bermakna, membumi, dan relevan dengan kehidupan siswa.

G. Kesimpulan

Teori belajar revolusi-sosiokultural memberikan pandangan baru bahwa belajar bukan hanya proses di dalam pikiran, tetapi juga proses sosial yang terjadi karena adanya interaksi dan budaya. Vygotsky menjelaskan bahwa anak-anak belajar lebih baik saat mereka dibimbing dalam lingkungan sosial yang mendukung. Guru berperan sebagai fasilitator, bukan sebagai sumber utama pengetahuan. Bahasa, budaya, dan lingkungan sangat penting dalam membentuk pemahaman siswa. Dalam Islam, manusia dipandang sebagai makhluk mulia yang diberi akal untuk berpikir dan belajar. Pendidikan bukan hanya untuk mencapai nilai akademik, tetapi juga untuk membentuk pribadi yang utuh dan bertanggung jawab terhadap masyarakat. Maka, teori ini sangat cocok diterapkan dalam pendidikan Islam di Indonesia, khususnya dalam pembelajaran PAI yang mengedepankan nilai, karakter, dan konteks kehidupan nyata.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ISLAM DAN TEORI BELAJAR

KONSEP DASAR TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

TEORI BELAJAR DESKRIPTIF DAN PRESKRIPTIF